Arsip | November, 2011

Mimpi Di Dalam Cita-Cita

11 Nov

Suatu hari ketika aku bangun pagi pikiranku teramat sangat lelah karena dikejar tugas yang sangat padat. Tugas UTS, tugas yayasan, dan tugas-tugas kampus. Ditambah lagi tugas hapalan Al-Qur’an yang belum selesai. Meski begitu, hatiku terasa amat senang karena dengan banyak tugas pengetahuanku semakin banyak bertambah. Dan waktuku tidak terbuang sia-sia.

Aku adalah seorang mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Tarbiyyah jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Dan kini aku tinggal di asrama bersama keempat teman-temanku, kita sebut saja namanya Fahmi dari Rembang, Samsudin dari Lombok, Fajar dari Pamulang, dan Ansori dari Mojokerto. Mereka sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri, bahkan sebagai keluarga. Bagaimana tidak, di tempat itulah kita berbagi cerita, suka, duka, canda, tawa, marah, benci, warnai kami, hiasi kisah kami. Walaupun pada kenyataannya kita sering ada “gesekan” kecil, yah itulah seni dalam hidup. Kadang ada candanya dan kadang ada “gesekan”nya juga. Tetapi perlu kita ketahui mempunyai banyak teman itu merupakan hal yang mengasyikan.

Kami tinggal di bawah naungan Yayasan Bait Al- Hasan, yang diketuai oleh Lies Hendriaty SE., kami memanggil beliau dengan panggilan akrab beliau, yaitu: Bunda. Di sini Kami dilatih dan dididik untuk menjadi manusia-manusia yang strong dalam mental dan dalam hidup. Karena sesungguhnya hidup ini keras. Tergantung bagaimana kita menjalani hidup ini. Selain Bunda Lies ada juga bunda-bunda yang selalu membimbing dan memotivasi kami, yakni Bunda Sufi dan Bunda Endah. Tanpa mereka mungkin hidup kami tak jelas tanpa arah. Disamping  itu, ada juga Ustadz Syukron dan Ustadzah Yayat (suami isteri), mereka selalu mengarahkan kami untuk selalu disiplin dalam waktu. Tanpa adanya kerja sama dari mereka mungkin Yayasan Bait Al- Hasan tidak akan berdiri kokoh seperti halnya sekarang. Karena dengan bekerjasama pekerjaan kita akan lebih terasa ringan serta nyaman. Sebagaimana firman Allah SWT dalam ( Q.S.  Al- Maidah {5} :2 )

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٢)

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Q.S. Al- Maidah {5} : 2)

Di suatu pagi yang indah, Aku terbangun menyambut senyuman mentari pagi dengan hati gembira yang penuh keceriaan dan diiringi semangat menggapai cita-cita. Kemudian Aku segera bergegas mengambil air wudhu untuk shalat Shubuh, tiba-tiba terbenak dalam pikiranku bahwasanya aku belum setor hapalan Al-Qur’an kepada ketua yayasan, memang setiap bulannya anak-anak Bait Al- Hasan dituntut untuk menghafal juz ‘amma, posting blog, dan membuat power point, yang temanya sendiri ditentukan oleh ketua yayasan (BAH) Bait Al- Hasan. Tujuannya tidak lain hanya untuk mencerdaskan anak-anak (BAH). Setelah shalat Subuh kemudian Aku membaca surat Al-Infitar dan Al-Muthafifin. Kedua surat tersebut memang agak panjang sehingga Aku kewalahan untuk menghafalnya, tetapi semangatku tidak mematahkan niatku untuk menghafal surat tersebut. Setelah itu aku bergegas untuk mandi dan rencananya setelah mandi aku ingin setoran ke Bunda Lies, anak-anak yang lain pun mengantri untuk setoran hafalan, aku mendapat antrian kedua setelah Fahmi, ketika itu ada sedikit kecelakaan yang sangat menghebohkan kami, tiba-tiba saja Fahmi secara tidak sengaja menekan meja belajar Bunda Lies sehingga meja beliau terjatuh ke lantai dan peralatan yang lain pun ikut jatuh seperti laptop, pot bunga, serta kertas-kertas jatuh berserakan di lantai. Dan akhirnya Mas Seno (supir Bunda Lies) yang memperbaiki meja tersebut. Kami pun ikut membantu membereskan barang-barang yang terjatuh.

Waktu sudah menunjukan pukul 07.10 sehingga akhirnya aku tidak meneruskan untuk hapalan karena aku harus berangkat kuliah, aku hendak pamit kepada Bunda Lies dan kepada sahabat-sahabatku yang di asrama. Sesampainya di kampus, wajahku sangat Bete karena Dosen yang mengajarku tidak hadir dan tidak ada kabarnya sedikitpun, kita sudah mencoba menghubungi dosen itu tetapi lagi-lagi tidak ada kabar dari dosen tersebut. Sehingga akhirnya kami melakukan sharing tanpa dosen. Detik jam pun berlalu, kami pun melaksanakan diskusi barcampur aduk canda dan tawa, ada yang lagi nelpon orang tuanya, ada yang berlalu lalang keluar kelas, dan ada juga yang makan di kelas saat diskusi sedang berlangsung, yah itulah kebiasaan buruk mahasiswa ketika sedang  tidak ada Dosen.

Waktu menunjukan pukul 13.00 WIB. Sinar terik matahari menyengat wajahku rasa lelah dan capek terasa di badanku, seolah-olah aku memikul beban yang teramat sangat berat. aku bingung tujuanku entah kemana, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke asrama tercinta (BAH). Sesampai di asrama aku sms bunda Lies karena aku ingin setoran hapalan. Beliau menjawab sms “nanti saja jam setengah empat ke rumah bundanya, bunda baru pulang fitness, cuapeeek banget… ba’da Ashar ya pukul 15.30. maaf.. kemudian dengan singkat aku menjawab“ iya Bunda.

Setelah itu Aku mempersiapkan untuk hapalan yakni surat Al- Infitar dan Al- Muthafifin, menurutku surat Al-Infitar agak lumayan mudah, tidak halnya dengan surat Al- Muthafifin, menurutku  surat itu cukup sulit untuk dihapal, hemm.. bagaimanapun juga Aku harus bisa menghapal kedua surat itu. Karena dengan keseriusan, keinginan, dan tekad yang kuat insya Allah, Allah akan memberi jalan keluar. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al- Insyirah {94} ayat 6 yang berbunyi sebagai berikut:

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (٦)

“  Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

Dan Aku sangat percaya dengan hal itu. Dalam artian apabila kita bekerja keras pasti Allah memberikan kemudahan bagi kita.

Ketika aku hendak hapalan di rumah Bunda Lies, tiba-tiba terlihat di hadapanku datang seorang pemuda membukakan pintu gerbang, setelah Aku perhatikan lagi, ternyata dia sahabatku Ansori, dan dia memberitahukan kepadaku bahwa di asrama ada tamu. Ternyata aku baru ingat sore ini jadwal mengajar Iqra di asrama, dan Aku pun akhirnya meminta izin kepada Bunda Lies untuk mengajar Iqra Anak nya Bu Meri. Kita sebut saja namanya Raffi dan Farri, memang nama mereka hampir mirip karena mereka berdua adik kakak yang sholeh.

Pada awalnya aku mengajarkan kepada mereka tentang mengenalkan huruf hijaiyyah, cara pengucapan maupun tajwidnya, karena itu sangat penting sekali ketika kita membaca Al-Qur’an, apabila cara bacanya salah maka secara tidak langsung maknanya pun juga akan salah.

Setelah selesai mengajar aku ke rumah Bunda Lies untuk hapalan, surat Al- Infitar Alhamdulillah berjalan dengan lancar, ketika Aku membaca surat Al-Muthafifin hapalanku hilang entah kemana, yang tadinya hapal berubah menjadi 50 % lupa. Dan seterusnya aku di bantu sedikit-sedikit oleh bunda lies, setelah hapalan selesai terbenak dalam pikiranku, Upppss… sore ini pukul 17.00 Aku menjadi petugas do’a dan muhasabah, hampir saja aku lupa. Karena setiap hari Senin dan hari Kamis Yayasan Bait Al- Hasan selalu mengadakan kegiatan rutin buka puasa bersama.

Adzan magrib pun berkumandang, betapa gembiranya di hati kami ketika awal berbuka puasa mencicipi sop buah dari Bunda Lies, setelah berbuka puasa maka kami pun shalat maghrib berjamaah yang bertugas menjadi Imam shalat Magrib yaitu Ansori, dan bilal nya saya sendiri. Setelah shalat magrib berlangsung maka kami berdiskusi yang membawakan materi kali ini yakni Bunda Endah. Materinya tentang “Motivasi”. Kemudian beliau membagikan kertas kecil putih kepada kami lalu meminta kami untuk menuliskan cita-cita dan impian. Ujar bunda Endah “ Anak-anaku bunda minta tolong sekarang kalian tulis apa impian dan cita-cita yang ada di hati kalian, anak-anak menuliskan cita-cita dan impian mereka, setelah itu kita membacakan satu persatu bacaan yang ada di kertas itu, isinya unik sekali, ada yang impiannya menjadi Sekertaris, jadi Presiden, jadi Duta Negara, jadi Ibu Rumah Tangga yang baik, sampai ada yang ingin menjadi penyanyi Professional. Yah itulah cita-cita kami mudah-mudahan tercapai, asalkan harus dibarengi dengan do’a dan kerja keras insya Allah itu semua akan tercapai. Amiin

Pemaparan yang diutarakan bunda Endah selesai, Setelah itu Adjri Septiany selaku MC membuka termin pertanyaan, Fuad ruswandi mengajukan pertanyaan tentang “perbedaan antara impian dan cita-cita”. Pertanyaan ini cukup menarik perhatian orang-orang yang hadir di tempat itu, karena pertanyaan ini menggugah hati para pendengar. Sehingga diskusi itu berjalan hidup, dan kesimpulan yang dapat diambil dari diskusi ini yaitu, cita-cita mengarah kepada suatu profesi, sedangkan impian mengarah kepada suatu barang. Contohnya: ketika aku besar nanti aku ingin menjadi seorang Dokter. Itu merupakan contoh bagian dari cita-cita, sedangkan contoh dari impian, aku ingin memiliki sebuah rumah yang mewah yang di dalamnya ada mobil-mobil yang berderet. Nah”. Itulah kisah cerita dari saya mudah-mudahan bermanfaat. Amiiiiin’.

Betapa wajibnya menuntut ilmu

8 Nov

Di antara sekian banyak nikmat Allah yang telah kita rasakan, ada satu nikmat yang melandasi datangnya nikmat-nikmat yang lain, yaitu ilmu. Sebab dengan ilmu, seseorang akan dapat memahami berbagai hal dan lantaran ilmu juga, seseorang akan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi di sisi Allah, juga di kalangan manusia. Terutama jika disertai dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Baik dia seorang budak atau orang merdeka, seorang bawahan atau atasan, seorang rakyat jelata ataupun seorang raja. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

يَـأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِذَاقِيْـلَ لَكُمْ تَفَـسَّحُوْافِيْ الْمَجَلِسِ فَافْـسَحُوا يَفْـسَحِ اللهُ لَكُمْۖ وَإِذَا قِيْـلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَتٍۗ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبْيْرٌ  ۝

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian, ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui atas apa yang kalian kerjakan.”(Q.S. Al-Mujadilah: 11).

 


 

Allah ‘Azza wa Jalla menolak persamaan antara orang-orang yang memiliki ilmu dengan orang-orang yang tidak memiliki ilmu. Sebagaimana Dia menolak persamaan antara para penghuni Surga dengan para penghuni Neraka. Allah berfirman,

قُـلْ هَـلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُونَۗ … ۝

Artinya:

“Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? ” (Q.S. Az-Zumar: 9).

Ayat di atas berbentuk kalimat tanya, akan tetapi pada hakikatnya mengandung arti pengingkaran. Karena orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu tidak akan pernah sama kedudukannya. Yang dapat memahami maksud tersebut hanyalah orang yang cerdas, sehingga dia dapat mengetahui nilai ilmu, kedudukan dan keutamaannya.

Pada kesempatan kali ini, dengan memohon taufik kepada Allah SWT, penulis akan menghadirkan pembahasan mengenai nikmat dan keutamaan para pemilik ilmu beserta dengan hukum dan macam-macam ilmu dalam tinjauan syari’at.

A.    DEFINISI ILMU DAN TINGKATANNYA

Ilmu adalah mengetahui sesuatu dengan yakin sesuai dengan pengetahuan yang sebenarnya.

Definisi ilmu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud 1988) memiliki dua pengertian yaitu:

  1. Ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) tersebut, seperti ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya.
  2. Ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian. Tentang soal duniawi, akhirat, lahir, bathin, dan sebagainya. Seperti ilmu akhirat, ilmu akhlak, ilmu batin, ilmu sihir, dan sebagainya.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan:

Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis, dengan metode-metode.

Ilmu pada hakikatnya terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Ilmu Dharuri, adalah pengetahuan tentang suatu hal tanpa memerlukan penelitian dan pembuktian dengan menggunakan dalil (keterangan). Contohnya: pengetahuan bahwa api itu panas.

2. Ilmu Nazhari, adalah pengetahuan tentang suatu hal yang didahului oleh penelitian dan pembuktian dengan menggunakan dalil. Contohnya: pengetahuan tentang tata cara wudhu dan shalat.

Adapun tingkatan ilmu yang dimiliki oleh seseorang terbagi dalam enam tingkatan, yaitu:

1. Al-‘Ilmu, maksudnya adalah mengetahui sesuatu dengan yakin sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

2. Al-Jahlul Basith, maksudnya adalah tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu hal tertentu, sama sekali.

3. Al-Jahlul Murakkab, maksudnya tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu hal tertentu, namun dia mengaku memiliki pengetahuan tentang itu, padahal keliru dan tidak sesuai dengan realita. Disebut murakkab yang artinya bertingkat, karena terdapat dua kebodohan sekaligus pada orang tersebut, yaitu bodoh karena dia tidak mengetahui yang sebenarnya dan bodoh karena dia beranggapan bahwa dia mengetahui yang sebenarnya, padahal dia tidak mengetahui.

 4. Azh-Zhann, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan benarnya lebih besar dari pada salahnya. Kata yang mirip dalam bahasa kita adalah dugaan kuat.

5. Al-Wahm, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan salahnya lebih besar dari pada benarnya. Atau mirip dengan dugaan lemah atau salah paham.

6. Asy-Syakk, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan benar dan salahnya seimbang.

[Lihat Syarah Tsalatsatil Ushul (hal. 18-19), Syarh Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 71-72), Ushul Fiqh Terjemah (hal. 25), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16-17)]

B.     KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU

Ilmu adalah sayyidul ‘amal (penghulunya amal), sehingga tidak ada satu amalan pun yang dilakukan tanpa didasari dengan ilmu. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah kaidah yang telah disepakati ummat,

اَلْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ

Ilmu dahulu sebelum berkata dan berbuat.”

[Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Ilmu, Bab Al-‘Ilmu Qablal Qaul wal ‘Amal (I/119)].

Ilmu juga merupakan makanan pokok bagi jiwa, yang karenanya jiwa akan menjadi hidup dan jasad akan memiliki adab. Oleh karena itu, Islam mewajibkan ummatnya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menuntut ilmu. Dan hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

 

 

C.    Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.”

[Hadits shahih li ghairihi, diriwayatkan Ibnu Majah (no. 224), dari jalur Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu. Hadits ini diriwayatkan pula oleh sekelompok para shahabat, seperti Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Sa’id Al-Khudriy, Al-Husain bin ‘Ali, dan Jabir Radhiyallahu’anhum. Para ulama ahli hadits telah menerangkan jalur-jalur hadits ini dalam kitab-kitab mereka, seperti: Imam As-Suyuthi dalam kitab Juz Thuruqi Hadits Tholabil Ilmi Faridhotun ’Ala Kulli Muslimin, Imam Ibnul Jauzi dalam kitab Al-Wahiyat (I/67-71), Imam Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/69-97), dan Syaikh Al-Albani dalam kitab Takhrij Musykilah Al-Faqr (hal. 48-62)].

Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendakwahkan Islam kepada para Shahabat atas dasar ilmu. Sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman dalam surat (Yusuf 12 : 108},

قُلْ هَـذِهِ سَبِيْلِى أَدْعُواإِلَى اللهِۚ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِىۖ … ۝

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku yang lurus, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan ilmu.’” (Qs. Yusuf {12}: 108)

D.    ILMU YANG WAJIB DICARI

Tidak setiap ilmu boleh untuk dicari dan dipelajari, sebab ada ilmu yang dilarang untuk dipelajari.Hanya ilmu yang bermanfaat sajalah yang boleh untuk dicari dan dipelajari. Karena ilmu yang bermanfaat menempati kedudukan yang terpuji, seperti kisah Nabi Adam ‘Alaihis Salam yang diajarkan oleh Allah Ta’ala tentang nama-nama segala sesuatu, kemudian Nabi Adam memberitahukannya kepada para Malaikat dan para Malaikat pun berkata,

قَالُوا سُبْحَـنَكَ لاَ عِلْمَ لَنَآ إِلاَّ مَاعَلَّمْتَنَآۖ إِنَكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ ۝

Artinya: “Mereka menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.’” (Q.S. Al-Baqarah: 32)

Demikian juga disebutkan dalam kisah Nabi Musa ‘Alaihis Salam dengan Nabi Khidhir ‘alaihis salam, sebagaimana termaktub dalam firman Allah Ta’ala berikut,

فَوَجَدَا عَبْـدًا مِّنْ عِبَـادِنَـآاَتَيْنَـهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْـدِنَـا وَعَلَّمْنَـهُ مِنْ لَّـدُنَّا عِلْمًا ۝ قَالَ لَهُ مُوسَى هَـلْ أَتَّبِعُـكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْـدًا ۝

Artinya: “Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba diantara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami. Musa berkata kepadanya.‘Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?’” (Q.S. Al-Kahfi:{18}: 65-66).

Semua ayat di atas berbicara tentang ilmu yang bermanfaat. Hanya saja, tidak semua orang bisa mendapatkan manfaat dari ilmu yang bermanfaat ini. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan tentang keadaan suatu kaum yang diberikan ilmu, tetapi ilmu yang ada pada mereka tidak memberi manfaat sama sekali bagi mereka. Padahal, ilmu yang mereka miliki adalah ilmu yang bermanfaat, namun demikian mereka tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Jalla Dzikruhu,

مَثَـلُ الَّذِيْنَ حُـمِّلُوا التَّوْرَىةَ ثُـمَّ لَـمْ يَحْـمِلُوهَاكَمَـثَـلِ الْحِـمَارِ يَحْمِـلُ أَسْفَـارَاۚ بِئْـسَ مَثَـلُ الْقَـوْمِ الَّذِيْنَ كَـذَّ بُوْا بِـئَا يَتِ اللهِۚ وَاللهُ لاَ يَهْـدِى الْقَـوْمَ الظَّـلِمِيْنَ ۝

Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”(Qs. Al-Jumu’ah: 5).

Sedangkan ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang menjadi penyakit dalam agama dan memiliki kecenderungan untuk menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan, seperti ilmu kalam (logika), ilmu filsafat, dan semisalnya. Selain itu, ada juga ilmu yang tercela, seperti ilmu sihir dan perdukunan.Ilmu tersebut merupakan ilmu yang tidak bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia apalagi di akhirat. Allah Subhanahu Wa  Ta’ala berfirman,

وَيَتَعَـلَّمُونَ مَـا يَضُـرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْۚ وَلَقَـدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَىهُ مَالَهُ فَى الْأَخِـرَةِ مِنْ خَلَقِۚ وَلَبِئْسَ مَاشَـرَوْا بِهِ أَنْفُـسَـهُمْۚ لَوْكَـانُوْا يَعْـلَمُونَ  ۝

وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (١٠٢

Artinya: “Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (Kitabullah) dengan sihir itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 102).

Yahya bin ‘Ammar rahimahullah pernah berkata, “Ilmu itu ada lima (jenis), yaitu: (1) ilmu yang menjadi ruh (kehidupan) bagi agama, yaitu ilmu tauhid; (2) ilmu yang merupakan santapan agama, yaitu ilmu yang mempelajari tentang makna-makna Al-Qur’an dan hadits; (3) ilmu yang menjadi obat (penyembuh) bagi agama, yaitu ilmu fatwa. Ketika seseorang tertimpa sebuah musibah maka ia membutuhkan orang yang mampu menyembuhkannya dari musibah tersebut, sebagaimana pernah dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu. (4) ilmu yang menjadi penyakit dalam agama, yaitu ilmu kalam dan bid’ah, dan (5) ilmu yang merupakan kebinasaan bagi agama, yaitu ilmu sihir dan yang semisalnya.” [Lihat Majmu’ Fatawa (X/145-146), Siyar A’lamin Nubala’ (XVII/482), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 28-29)]

Demikianlah perbedaan antara ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat.

Adapun pengertian dari ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa keterangan dan petunjuk, dimana mempelajari ilmu ini berhak mendapatkan pujian dan sanjungan. [Lihat Kitabul ‘Ilmi (hal. 13), Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 15), Bahjatun Nazhirin (II/461), dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/281)].

Imam Al-Auza’i Rahimahullah berkata, “Ilmu (yang bermanfaat) adalah apa yang berasal dari para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan apa saja yang datang bukan dari salah seorang dikalangan mereka maka itu bukanlah ilmu (yang bermanfaat).” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/500, no. 1067 dan I/617, no. 1421), Fadhlu ‘Ilmi Salaf (hal. 42), Bahjatun Nazhirin (II/461), Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/283), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16 dan 22)].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah pun pernah berkata, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung (matematika), ilmu pertanian, dan ilmu perdagangan.” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (VI/388 dan XIII/136), Madarijus Salikin (II/488), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 20-21)]

Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah pernah berkata, “Ilmu adalah firman Allah, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan perkataan para Shahabat.” [Lihat I’lamul Muwaqqi’in (II/149) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 22)].

Adapun ilmu yang bersifat keduniawian, seperti ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu ekonomi, dan yang lainnya, ada yang sangat dibutuhkan umat Muslim. Namun, ilmu-ilmu tersebut tidak termasuk dalam kategori ilmu syar’i, sebagaimana disebutkan dalam dalil yang tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena itu, hukum menuntut ilmu duniawi tergantung kepada tujuan dan kebutuhannya, apabila tujuannya adalah untuk ketaatan kepada Allah maka hal itu akan menjadi baik dan apabila dengan mempelajarinya dapat memenuhi kebutuhan kaum muslimin maka hal itu dapat menjadi wajib. [Lihat Kitabul ‘Ilmi (hal. 13-14)]

Dengan demikian, kita dapat membagi hukum menuntut ilmu menjadi tiga, yaitu:

1. Fardhu ‘ain, dimana hukumnya adalah wajib untuk diketahui oleh setiap individu. Ilmu yang tercakup dalam hukum ini adalah semua ilmu syar’i yang yang menjadi pengetahuan dasar tentang agama, baik permasalahan ushul (asas) seperti akidah, tauhid dan manhaj, sampai permasalahan furu’ (cabang) seperti shalat, zakat, sedekah, haji, dan semisalnya.

2. Fardhu kifayah,  dimana hukumnya tidak wajib atas setiap individu, sebab tidak mungkin semua orang dapat mempelajarinya. Kalaupun diwajibkan atas setiap individu, tidak semua orang dapat melakukannya, bahkan mungkin saja dapat menghambat jalan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya sebagian orang saja yang diberi kemudahan oleh Allah untuk mempelajarinya dengan rahmat dan hikmah-Nya.

Apabila sebagian orang telah mengetahui dan mempelajarinya maka gugurlah kewajiban lainnya. Namun, jika tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengetahui dan mempelajarinya, padahal mereka amat membutuhkan ilmu tersebut maka mereka semua berdosa karenanya.

Contohnya adalah ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu waris, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu fiqih, ilmu pemerintahan, dan lain sebagainya. [Lihat Tafsir Al-Qurthubi (VIII/187), Thariq ilal ‘Ilmi As-Subulun Naji’ah li Thalabil ‘Ulumin Nafi’ah (hal. 18-19), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 6-7 dan 17)].

3. Haram, dimana hukumnya terlarang untuk dicari dan dipelajari, karena akan membawa pelakunya kepada kesesatan, kemaksiatan, bahkan kesyirikan kepada Allah SWT. Diantara ilmu yang termasuk dalam hukum ini adalah ilmu sihir. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,

وَ يَتَعَـلَّمُونَ مَـا يَضُـرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْۚ وَلَقَـدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَىهُ مَالَهُ فَى الْأَخِـرَةِ مِنْ خَلَقِۚ وَلَبِئْسَ مَاشَـرَوْا بِهِ أَنْفُـسَـهُمْۚ لَوْكَـانُوْا يَعْـلَمُونَ ۝

Artinya: “Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (Kitabullah) dengan sihir itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah {2}: 102)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah bersabda,

إِجْتَنِـبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَـاتِ، قَالُوا: يَـا رَسُولَ اللهِ وَمَـاهُنَّ؟ قَـالَ: الشَّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَـتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهَ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَـا، وَأَكْلُ مَـالِ الْيَتِيْـمِ، وَالتَّوَ لَّيْ يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَـذْفُ الْمُحْصَنَـاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ .

Artinya: “Hindarilah (oleh kalian) tujuh perkara yang membinasakan.’ Mereka bertanya, ‘Apakah itu wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan cara yang benar, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan melempar tuduhan zina kepada wanita mukminah yang terjaga kesucian dan kehormatannya dari perbuatan dosa dan mereka tidak mengetahui tentang hal itu.’” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 2615), Muslim (no. 258), Abu Dawud (no. 2874), dan An-Nasa’i (no. 3673), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu].

Hadits di atas menyebutkan tentang perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjauhi sihir dan menjelaskan bahwa sihir termasuk dalam perbuatan dosa besar yang membinasakan. Ini menunjukkan bahwa sihir dapat membinasakan pelakunya di dunia maupun di akhirat. [Lihat Hukmus Sihri wal Kahanah (hal. 5)].

Tidak ada perbedaan bagi laki-laki maupun perempuan, mulai dari orang tua ataupun anak-anak, pejabat atau karyawan, si kaya atau si miskin, semuanya sama dalam kewajiban menuntut ilmu syar’i yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena dengan ilmu tersebut, dia akan dapat mengetahui dan mengamalkan berbagai amalan shalih dengan baik, yang amalan-amalan tersebut akan dapat mengantarkannya ke Surga. Amiiin…